“Dek, ayo buruan… sebelum gw kesiangan…” kata mas Randri, suamiku.
Dia berdiri di samping meja makan yang telah bersih dari peralatan makan, sambil mengurut perlahan batang penisnya.
“Iya… gw datang…dasar tikus hutan ….” Candgw sambil tertawa.
gw letakkan piring dan gelas kotor di dapur, lalu gw kembali kearah ruang makan. gw lepas cd yang membungkus vagingw dan gw lempar ke atas tumpukan cucian kotorku. Cd itu adalah cd terakhirku, karena semua cd yang gw miliki belum sempat gw cuci. Sekarang, satu-satunya baju yang masih menempel di tubuhku adalah daster batik berbelahan dada rendah yang menggantung sepanjang separuh pahgw. Adalah suatu rutinitas, hampir setiap pagi gw harus melayani nafsu suamiku yang menggebu-gebu. Nafsu seks yang seolah-olah tak pernah ada habis-habisnya. Sepertinya, yang ada diotaknya ketika ada gw, hanyalah tentang seks…ngentot…make love…ngewe. Hanya itu saja. gw, sebagai istrinya hanya bisa tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala saja melihat tingkat yang gw anggap lucu ini. gw mendekat, sambil menurunkan tali pundak daster miniku. Daster itu meluncur turun dengan cepat, dan langsung menampakkan kepolosan tubuh putihku. Putingku telah ereksi, dan vagingw juga mulai basah. Dikecupnya kening, pipi, hidung, leher dan bibirku. Karena gw mudah sekali terbakar nafsu birahi, tak perlu menunggu terlalu lama untuk pemanasan. Langsung saja lidah kami bergulat. Tangan kiri mas Randri mulai memelintir dan meremas putting payudargw, dan tangan kanannya merogoh vagingw dari depan. gw pun tak mau tinggal diam, gw raih batang penisnya yang sudah menegang dengan kedua tanganku dan gw kocok penis mas Randri, naik turun dengan cepat.
“Memek kamu cepet sekali basah dek… Kamu dah sange ya sayang?” tanyanya sambil tersenyum.
“Ya iyalah…. Siapa coba yang ga sange klo jari mas mengobok-obok memek adek kayak gitu..” Mas Randri tersenyum, ia menatap wajahku yang sudah mulai memerah sayu.
Mas Randri mendadak menghentikan gulat lidahnya, dan mengarahkan mulutnya ke payudargw. HAP. Dia langsung mencaplok dada kananku. Disedotnya kuat-kuat, lidahnya menari lincah diatas putingku. Geli. Tak lama, mulutnya pun pindah ke payudargw yang kiri. HOP. “Annnnggg…” kali ini giginya ikut bermain, dengan menggigit perlahan puttingku yang mulai mengeras.
“Owhh… sssshh” gw hanya bisa mendesis menerima semua perlgwannya.
“Mas, sekarang ya….” Bisikku lirih. “gw sudah tak tahan”. Mas Randri mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tubuh telanjangku dibalik menghadap ke arah meja makan dan ia mendekap tubuh mungilku dari belakang. Walau sudah berubah posisi, kedua tangannya masih saja menggerayangi tubuhku. Tangan kiri meremas perlahan payudargw, dan tangan kanan mencolokkan beberapa jemari gemuknya ke dalam vagingw. gw merasakan penisnya berada tepat di belahan bokongku, digesek-gesekkannya penis itu dengan penuh perasaan.
“Mas.. ayo…. Dimasukkin … Adek udah nggak kuat lagi….” rengekku memelas.
Mengerti akan hasratku yang tak bisa gw tahan lagi, mas Randri lalu mendorong pundakku ke depan dan bertumpu pada meja makan.
“Lebarin kakimu dikit dek…. Nah gitu”
gw terperanjat ketika merasakan, tangan kanan suamiku mencoblos perlahan vagingw dari arah pantat. “Pemanasan…” katanya menenangkanku. Disodok-sodokkan jemari gemuknya beberapa kali di vagingw. Cairanku membanjir. Dengan perlahan, mas Randri mulai mengarahkan kepala penisnya kearah vagingw. Digesek-gesekkan batang penis itu diluar bibir kemaluanku. Ia berusaha melumasi seluruh batang penisnya dengan cairan vagingw. Mas Randri mengambil ancang-ancang. Kurasakan kepala penisnya di antara bulatan bokongku. Perlahan ia mulai mendorong batang penisnya dan mulai menyeruak masuk. Benda itu begitu hangat, kenyal namun keras. Sambil tetap meremas-remas kedua dadgw dengan satu tangan, mas Randri mendorong sedikit demi sedikit kepala penisnya.
“CLEP” kepala penisnya telah masuk.
“Uhh…” gw mendesah sambil memejamkan matgw rapat-rapat. Walau gw sudah terbiasa dengan ukuran penis mas Randri, namun tetap saja, ada sedikit rasa nyeri yang timbul.
Mas Randri menggeser-geser posisi tubuhku, mencoba membuatnya menjadi lebih mantap ketika kami bersetubuh. Perlahan, batang penisnya mulai ia dorong masuk ke vagingw. gw merasakan denyut-denyut pelan yang membuat organ kewanitaanku semakin membanjir basah. Sedikit demi sedikit, sampai batang sepanjang 16 cm itu benar-benar hilang ditelan organ kewanitaanku.
“Mmm…mas….” Suargw gemetar menahan nafsuku.
“Kenapa dek…? Enak…?” mas Randri mengecup punggungku ketika melihat gw mengangguk-anggukkan kepalgw.
Saking nafsunya, cairan vagingw menjadi tak terbendung, karena gw merasakannya mulai turun, mengalir ke arah pahgw.
“CLEP… CLEP… CLEP… “ mas Randri mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur, mengaduk dan menusukkan batang penisnya dalam-dalam, semakin lama semakin cepat.
“PLAK… PLAK… PLAK…” Suara tubuh kami ketika saling bertabrakan.
“SREEK…SREEK…SREEK…” Meja makan yang gw buat sebagai tumpuan tubuhku juga perlahan mulai bergerak, tiap kali pinggul mas Randri menabrak pantatku. Kaki mejanya berderit-derit, tergeser oleh gerakan liar kami berdua. “DUG… DUG… DUG…” Suara bibir meja ketika menabrak tembok dan desahan suara kami memenuhi ruang makan yang sempit ini.
“Enak dek…?” tanyanya dari arah punggungku sambil terus meremas payudargw.
Saking enaknya, gw hanya bisa menggigit bibir bawahku, tersenyum mendesis sambil mengangguk-anggukan kepalgw. Mulut mas Randri tak henti-hentinya mengucapkan kata “gw sayang kamu dek” tiap kali ia memompa penisnya diliang vagingw. Terkadang ia mengecup dan menjilat punggungku. gw hanya bisa menundukkan kepala sambil melenguh keenakan, merasakan tusukan-tusukan tajam penis mas Randri.
“Pagi hari yang berisik… “ pikirku tiap kali kami bersetubuh.
Karena memang benar, kami adalah pasangan yang tidak bisa diam, selalu bercinta tiap kali ada kesempatan. Tak peduli akan waktu, tempat ataupun situasi. Oleh karenanya gw panggil suamiku tikus hutan, karena nafsunya mirip dengan aktivitas makhluk kecil itu, hanya bercinta dengan pasangannya sampai dia mati. Gelombang kenikmatan itupun perlahan datang. Jantungku bercetak semakin cepat, nafasku memberat, siap menyambut orgasme pertamgw di pagi hari ini.
“Shhhh… gw mau keluar mas…ayo… tusuk memek adek lebih dalam…” katgw menyemangatinya.
Tanpa menunggu perintahku untuk yang kedua kalinya, mas Randri semakin mempercepat sodokannya. Tubuhku terhentak-hentak dengan keras, tiap kali menerima sodokan penis mas Randri. Penisnya terasa begitu cepat, keluar masuk dengan ritme yang semakin cepat. Meja makan tempat gw menyandarkan tubuhku pun sepertinya ikut merasakan dorongan brutal mas Randri, berderit dengan keras dan menabrak tembok seiring desahan kenikmatan kami berdua.
“Shhh…ayo mas… gw sudah dekat.. gw mau keluar …. Ssshhhh…” erangku kepada suamiku. Dengan tangan kiri yang masih menopang badanku, gw pegang pantatnya dengan tangan kanan. gw gerak-gerakan pantat semok itu kearahku, berharap mas Randri semakin mempercepat goyangannya.
“Mas…ayo…. sodok gw dengan keras… tusuk gw dengan tititmu… gw mau keluar mas…”
Di tengah-tengah pendakian kami ke puncak gunung kenikmatan. Tiba-tiba mas Randri menghentikan sodokannya. Dia terdiam, menusukkan penisnya dalam-dalam ke arah vagingw, dan….
“Aaahhhhhhkkkkk……… ahhhh… ahhhh… “ mas Randri berteriak lirih. Gumpalan cairan hangat langsung memenuhi rongga rahimku. Tak begitu banyak, namun cukup membuat liang rahimku agak sedikit penuh. Mas Randri mendorong tubuh gemuknya ke arahku dengan brutal tiap kali penisnya memuntahkan lahar panasnya. Sampai gw merasa sakit pada bagian paha depanku yang terkena bibir meja.
Enam kali sodokan keras gw terima pada vagingw ketika suamiku ejgwlasi, sebelum akhirnya ia merubuhkan tubuhnya ke arahku. Berat sekali. Nafasnya tersengal-sengal.
“gw sayang kamu dek…” ucapnya sambil mengecup bagian belakang leherku.
“Iya.. gw juga sayang kamu mas” jawabku lirih.
Sebenarnya ada rasa kesal karena gw masih belum mendapatkan orgasmeku. Sekali lagi, mas Randri gagal memberiku kenikmatan yang telah lama gw inginkan. Tidak sampai 5 menit dia sudah terpuaskan, mas Randri selalu saja begitu, terlalu cepat ejgwlasi.
“Mas… gw masih pingin… ayo ngewe lagi… ayo mas…” katgw.
“Aduh… mas dah terlambat dek… ntar malem ya kita sambung lagi…” elaknya.
Selalu saja, kata-kata itu yang menjadi alesan. Mas Randri memeluk tubuh telanjangku sambil tersenyum penuh kepuasan. Sebagai istri yang harus selalu patuh, gw harus menyembunyikan rasa ketidakpuasanku. gw harus bisa ikut tersenyum melihat kepuasan yang terpancar dari wajahnya, dan membiarkan kehausan nafsuku hilang dengan sendirinya. “PLOP” gw masih merasakan kedutan pelan di dinding vagingw ketika batang penis mas Randri yang telah lemas, jatuh keluar dengan sendirinya. Sekarang penis itu menggelatung tak berdaya di luar bibir vagingw. Meneteskan lendir kenikmatan kami berdua di belakang paha dan betisku.
“Dek, gw berangkat dulu, khawatir ketinggalan angkutan… dah siang nie” kata mas Randri sambil mengangkat badan lebarnya dari punggungku.
Dia menepuk pantat semokku dan balikkan badanku yang masih tengkurap diatas meja makan. gw sekarang dalam posisi telentang, menatap langit-langit rumah kontrakanku. Dengan kaki yang menjuntai di tepi meja makan. Mas Randri tiba-tiba mencium vagingw dan menyeruput cairan yang keluar dari vagingw.
“Hayo… kamu lupa ya dek?” tanyanya sambil tertawa.
“Hahaha.. geli mas… geli…iya iya…adek inget….” Jawabku berusaha menjauhkan mulutnya dari selangkanganku.
Memang sudah menjadi kebiasaan, jika setelah kami bersetubuh, gw selalu membersihkan seluruh batang penisnya dengan mulutku.
gw segera bangun, turun dari meja makan dan langsung berjongkok di depan selangkangan suamiku. gw raih batang penisnya yang menggelantung lemas itu, dan gw jilat perlahan. Kuhirup dalam-dalam aroma kewanitaanku yang bercampur dengan spermanya. Sejak pertama kali kami bersetubuh, gw memang suka sekali meminum sperma, teksturnya mirip dawet, minuman khas dari pulau jawa yang terbuat dari campuran gula merah dan santan kelapa, terlebih lagi aromanya, mirip aroma daun pandan. Kubuka mulutku lebar-lebar, lalu gw masukkan seluruh batang penisnya. gw kecap, hisap dan urut batang penis lemasnya dengan mulutku. Berharap penis itu bisa tegang kembali. Namun setelah beberapa menit gw oral, sama saja, penis itu tetap menggelayut lemas.
“Nah…..Dah bersih mas…” katgw. “Dah… sana berangkat kerja…”
Mas Randri menyuruhku berdiri, dan sekali lagi, ia kecup keningku. “Kamu yakin? Nggak mau menunggu besok Minggu buat mengerjakan semua pekerjaan rumah ini…? Kamu mau mengerjakannya semua ini sendirian? Jangan terlalu capek ya istriku sayang” tanyanya begitu mengkhawatirkanku.
“Iye baweeeeel… gw yakin… dah ah… jangan menganggap gw cewek manja seperti dulu… gw dah berubah… sana buruan berangkat” katgw pada suamiku tercinta.
Dengan tubuh telanjang bulat dan vagina yang masih meneteskan cairan kenikmatan kami berdua, lalu gw antar mas Randri ke pintu depan sambil bergelayutan manja dipundaknya.
“Dah ah… sana buruan pakai dasternya… ntar ada orang yang ngliat loh…” kata suamiku.
“Ah.. kagak ada yang bakalan ngeliat mas… khan rumah kita paling tertutup…”
“Berani yaaaa……. “ Kata mas Randri sambil mencubit pantatku..
“He he he… Iyeeeee….”
Diciumnya kening dan bibirku tuk terakhir kali, dan tak lupa salam berangkat kerja andalannya. Meremas kedua belah dadgw, memelukku dari depan dan menepuk keras-keras kedua bongkahan pantat semokku.
“Salam sayang buat mimi imutku… jaga baik-baik ya dek” katanya sambil tersenyum manja.
“Jaga juga dedenya… jangan diapa-apain sampai ntar malam kamu pulang ya mas” sambungku.
Mimi dan Dede adalah panggilan sayang kepada alat kelamin kami masing-masing. Mas Randri melambaikan tangan, dan melangkah menjauh meninggalkan gw sendirian di rumah kontrakan baruku ini.
Mas Randri, suamiku, berumur 32 tahun, berpostur agak gemuk, 170cm/90kg, dan berkulit putih mirip denganku. Dia baru saja diangkat jabatan menjadi seorang pengawas lapangan disebuah Perusahaan Pengeboran Minyak Internasional. Mas Randri adalah seseorang yang bijaksana dalam pengambilan keputusan, pandai dan penuh dengan perhitungan.
“Bukannya pelit dek… tapi khan lumayan… kita bisa menghemat uang jutaan rupiah perbulan loh kalo tinggal di rumah ini… daripada gw harus menyewa rumah mewah dekat kantor… toh beda jaraknya cuma 1 jam…” itulah kalimat yang selalu di ulang-ulang ketika gw sedikit ngambek karena keputusannya mengambil rumah yang “jauh dari peradaban ini”.
Rumah kontrakanku adalah rumah petak, yang terbagi menjadi beberapa bagian, teras, ruang tamu, ruang tidur, dapur, kamar mandi dan halaman belakang untuk cuci dan jemur. gw dan suamiku kebagian rumah paling ujung. Rumah yang paling jauh dari pintu masuk komplek kontrakan, namun memiliki ukuran paling besar diantara rumah kontrakan yang lain.
“Hari yang cerah untuk memulai aktifitas” katgw dalam hati.
gw ambil daster kecilku yang teronggok di kaki meja makan lalu gw mulai mengenakannya lagi melalui atas kepalgw. Malas sekali rasanya ketika gw mulai mengenakan dasterku. Sepertinya sangat nyaman jika bisa hidup seperti kaum nudis yang tak perlu repot-repot menggunakan selembar bajupun ketika beraktifitas. Kubawa piring dan gelas kotor ke dapur, gw letakkan di dalam bak pencucian. gw pandang tumpukan cucian kotor yang sudah lama teronggok dan mulai mengeluarkan bau tak sedap di sudut kamar mandi.
“Sabtu ini akan menjadi hari yang melelahkan. Ayo Liani, kamu pasti sanggup menjalani ini semua” gw menyemangati diriku sendiri dan mulai mengerjakan pekerjaan rumahku itu.
gw harus bisa menjadi istri yang bisa diandalkan oleh suamiku. Menyapu, mengepel dan mencuci piring bisa gw lgwkan dengan cepat. Namun ketika gw akan memulai mencuci tumpukan baju kotor, langsung terbayang betapa lelahnya tubuhku nanti malam. Ternyata menyeret bak cucian basah itu begitu susah, berat, dan licin. Perlu tenaga ekstra untuk bisa memindahkannya ke dari kamar mandi ke halaman belakang.
“Lagi mau nyuci mbak?” Tiba-tiba gw dikagetkan oleh suara seorang pria. Celingukan gw mencari asal suara itu.
“Banyak juga cuciannya mbak… dah berapa minggu tuh baju-baju nggak dicuci?” tambahnya lagi.
Ternyata suara itu berasal dari penghuni rumah kontrakan di samping tempat gw tinggal. Mas Manto, begitu tetangggw biasa memanggilnya, adalah seorang satpam yang bekerja di perumahan dekat komplek kontrakan tempat gw tinggal. Selama gw tinggal disini, baru pertama kali ini gw melihat seperti apa bentuk suami mbak Narti sebenarnya. Mas Manto berumur sekitar 40 tahunan. Posturnya mirip dengan suamiku namun agak kurus 170cm/60kg dengan kumis tipis yang dipotong rapi diatas bibir tebalnya. Kulitnya coklat kehitaman dengan rambut kriting pendek. Sedangkan istrinya, Mbak narti, berusia 35 tahunan, berperawakan gemuk dengan payudara yang meluap-luap, khas badan ibu-ibu, adalah seorang pelayan toko yang juga bekerja pasar dekat komplek rumah kontrakan kami.
“Iya…” jawabku sekenanya. “Dah hampir 2 minggu nie belum diapa-apain….” tambahku lagi.
Sebenarnya gw sudah mengenal siapa mas Manto, karena hampir setiap hari gw melihatnya berangkat kerja, tapi selama gw dan suamiku tinggal di rumah kontrakan ini, belum pernah sekalipun gw bercakap-cakap. Hanya kenal sebatas sapa dan cerita saja.
“Saya Manto mbak…suami si Narti..” katanya lagi sambil menjulurkan tangan.
“Mmm… Nama saya Liani… “ jawabku sambil menyalami tangannya.
Langsung saja tubuhku merinding begitu menyentuh tangan mas Manto. Tangan itu begitu dingin, hitam, dan keriput, sangat kontras dengan tanganku, putih, mulus. Entah kenapa, begitu gw melihat wajah dan postur tubuhnya, gw langsung terbayang akan cerita-cerita pemerkosaan sadis yang menimpa kepada para perantau di tanah orang. Apalagi saat itu gw hanya mengenakan daster pendek tanpa baju dalam sama sekali. Memamerkan kaki panjang dan belahan dadgw.
“Mas Randri kerja mbak?” tanyanya lagi, membuyarkan lamunanku.
“I… Iya… baru saja berangkat”
“Oooowwwh….. saya permisi ya mbak… gerah habis mencuci…mau mandi dulu” jawabnya sambil tersenyum.
“Iya….silakan” katgw sambil melihat deretan cucian mas Manto yang masih meneteskan air sabun.
“Sopan juga dia…” ternyata gw salah pikir terhadap mas Manto.
Walau hanya dari perkenalan singkat tadi, gw merasa kalau mas Manto tak seperti orang-orang kebanyakan. Sopan, tak seperti orang yang berpandangan jahil terhadap wanita berbusana seksi sepertiku barusan. gw berpostur badan sedang dan terbilang langsing, 165cm/45kg, berkulit putih dengan ukuran buah dada yang cukup besar. Yang membedakan gw dengan wanita lain adalah pinggangku sangat kecil dan kakiku agak lebih panjang dari kebanyakan teman-temanku. Mata bulat lebar, bibir merah dan rambut panjang hitamkulah yang selalu gw banggakan. Sebenarnya gw kurang begitu suka dengan baju seksi, tapi gw lebih memilih baju yang berukuran kecil, karena merasa nyaman aja ketika digunakan untuk beraktifitas.
“PRAK….” Bak cucianku pecah, ketika gw mencoba menggesernya kehalaman belakang.
Pecah karena tak kuat menahan beban rendaman baju kotor kami. Air cucian kotorpun langsung keluar dari sela-sela bak cuci pecahku, menggenang, disertai bau apek yang cukup menyengat.
“Sialan… belum juga mencuci…” emosiku langsung meninggi…” sabar Liani… sabar…”
gw diam sejenak, memikirkan apa yang harus gw lgwkan.
“Daripada beli, mungkin lebih baik gw pinjam saja sebentar.” Pikirku
“Mas Manto..” Walau pintu halaman belakang rumahnya terbuka begitu saja, tapi gw berusaha tuk sopan. gw ketuk pintu rumahnya beberapa kali.
Mas Manto
Tak ada jawaban.
“Mas Manto..” gw panggil namanya lagi dengan suara lebih lantang.
“Iya sebentar…” jawabnya dari dalam rumah. “maaf tadi saya masih mandi… ada apa ya mbak??” tanyanya sambil mengikatkan handuk kecil berwarna hijau yang sudah lusuh dan sedikit berlubang di pinggangnya yang ramping. Badannya basah kuyup, dengan rambut yang juga masih meneteskan air..
“Ada apa ya mbak? Kok kayaknya kebingungan gitu?” tanyanya.
gw tak menjawab, gw masih terkesima melihat postur tubuhnya, badannya begitu hitam, kekar, dengan bongkahan dada dan lengan yang menonjol disana-sini.
“Mbak?” tanyanya lagi. “Ada yang bisa saya bantu?”
“Eeh…maaf…anu….. bak cuci gw pecah” katgw terbata-bata. “Apa boleh gw pinjem bak cucinya? Ntar begitu sel………..”
“Boleh-boleh… bentar ya saya ambilin dulu” potongnya sebelum gw menyelesaikan kalimat.
Mas Manto buru-buru masuk, dan mengambil bak mandi yang tergeletak di sudut lantai kamar mandinya. Ketika dia membalikkan badan, kembali gw terkesima melihat otot-otot kekar badannya. Punggungnya lebar dan pantat yang hanya ditutupi handuk merah lusuh itu begitu semok. gw sedikit tertawa ketika melihat kaki mas Manto. Pahanya besar tapi betisnya kecil. Mirip badan tokoh film kartun yang memang hanya badan bagian atasnya saja yang besar, namun bagian bawahnya kecil. Dan dari disinilah cerita itu dimulai. Ketika dia membungkuk tuk mengambil bak cuci miliknya, bagian belakang handuk itu otomatis meninggi, mengikuti gerak badannya. Dan dari sela-sela paha belakang mas Manto, gw melihat barang yang tak seharusnya tak liat. Hitam, panjang menjuntai, dengan ujung besar berwarna merah kehitaman. DEG….Detak jantungku terasa berhenti sejenak. Langsung saja gw tinggalkan pintu rumahnya dan masuk kedalam rumahku. gw tutup pintu dapur, dan langsung saja gw duduk terjatuh. Lututku lemas dan dadgw berdebar-debar mengingat hal yang baru saja gw lihat. gw melihat barang yang seharusnya tidak boleh gw lihat, barang yang menjadi simbol kejantanan dan kebanggaan kaum pria. Ya, barang itu biasa disebut penis, titit, atau kontol. Walau sekilas, seumur-umur, baru saja gw melihat barang yang bukan milik suami gw sendiri. Walau sekilas, tapi gw bisa membayangkan bagaimana bentuk keseluruhan dari barang milik mas Manto itu. Hitam, besar, dengan urat-urat yang mengelilingi sekujur batangnya, berkepala merah kehitaman dengan mulut kemaluan yang lebar menganga, bau amis asam selangkangan yang menusuk hidung dan rambut kemaluan yang lebat.
“Mbak… loh… kemana orangnya….?” Suaranya terdengar pelan dari sebelah rumah.
“Mbak…ini bak cucinya……” panggilnya dari samping rumahku. Mas Manto pun akhirnya mengantarkan bak cuci miliknya ke halaman rumahku. Karena melihat gw yang tak langsung keluar, mas Manto mendekat kearah pintu dapur, mengintip kedalam dari jendela dapur, dan mengetuknya perlahan.
“Mbak Liani… ini bak cucinya…” panggilnya.
Andai saja mas Manto agak menunduk dan melihat kebawah, mungkin saja ia bisa melihatku yang meringkuk di balik pintu dapur rumahku. Meringkuk menahan malu yang seharusnya tak gw rasakan. toh yang terlihat adalah bukan aurat tubuhku. Detak jantungku masih berdetak begitu kencangnya sampai gw sama sekali tak berani untuk bergerak. Susah rasanya gw berdiri dengan kedua kakiku. Lemas, tak bertenaga. Dengan gerak super pelan, gw mencoba berdiri, memasang telinga, untuk mendengarkan, mungkin saja ia masih ada di dekat jendela. Tenaggw perlahan pulih, setelah melihatnya berdiri tak jauh dari pintu dapur. Membelakangiku sambil berkacak pinggang. Dari balik korden tipis jendela dapur, gw amati gerak-geriknya. Dengan muka kebingungan, mas Manto hanya bisa celingukan ke arah rumah kontrakanku lalu mengamati banyaknya cucian kotor yang terhampar di depannya. Karena mungkin merasa iba, diapun membantu memindahkan cucian kotor yang ada di bak cuciku yang telah pecah, ke bak cuci miliknya. Sekali lagi, ketika mas Manto memindahkan baju-baju kotorku, gw pun kembali melihat barang hitam miliknya. Handuk kecilnya naik turun. Memperlihatkan barang yang ada dibaliknya setiap kali ia membungkukkan badan untuk memindahkan cucian kotorku. Ketika sedang dalam posisi membungkukkan badan tuk mengambil baju-bajuku, tiba-tiba mas Manto terdiam. Masih dalam posisi menungging. Lama sekali. Dan selama itu pula gw menatap tajam ke arah benda yang bergelatungan di balik handuk kecilnya. Bergoyang goyang seiring gerakan pantat mas Manto.
“Apa yang dia lgwkan” tanygw dalam hati.
Ternyata hal yang membuatnya terdiam adalah…. Tumpukan baju dalam kotor milikku. Iya, benar sekali, mas Manto mengamati baju dalam kotorku.
Tiba-tiba mas Manto berdiri, membalikkan badannya dan melihat ke arah rumahku, matanya celingkuan mencari dimana gw gerangan. Dia berpindah posisi, memutari bak cucian kotorku, mengawasi segala gerakan dari dalam rumah. Matanya sangat tajam, mengamati setiap sudut rumahku dengan seksama. Namun gw yakin dia tak bisa mengetahui posisiku, karena terhalang oleh korden tipis jendela dapurku. Karena menurutnya aman, diapun membungkukkan badannya kembali dan dengan tangan kirinya, dia mengambil salah satu cd kotorku. Cd putih dengan pinggiran berenda. Dengan mata yang masih celingukan penuh rasa was-was, dia mengamati dalam-dalam cd kotorku itu. Diamati bercak lendir lengket berwarna putih yang menepel di bagian depan cdku. Dan dengan jemari tangan kanannya, disentuhlah bercak lendir itu, dikorek-korek. Lalu, apa yang sama sekali tak pernah gw bayangkan terjadi. Mas Manto, tanpa rasa jijik sedikitpun, menjilat jemari tangan bekas mengkorek cd kotorku. Karena kurang puas, dia menghirup, menjilat dan mengecapnya, seolah-olah itu adalah makanan paling enak sedunia. Gila. Dia lgwkan itu semua dengan tanpa rasa jijik sedikitpun. Tiba tiba, perlahan namun pasti, ada sesuatu yang bergerak dari dalam handuk kecilnya. Penisnya mulai ereksi. Naik, sedikit demi sedikit, semakin menggembung, mengembung dan mengeras. Ereksi dengan diiringi kedutan denyut nadi yang ada di batang penisnya. Handuk kecilnya tersingkap, terdorong ke atas, oleh batang kejantanan seseorang yang sama sekali belum gw kenal dekat. Penis hitam yang sempurna, keras, berurat, dengan ujung berwarna merah pekat. Buah zakarnya mengelantung pasrah, ukuran zakarnya pun tak kalah hebohnya, sebesar jeruk nipis. Penis itu terlihat begitu gagahnya, mulai meninggi keatas disertai dengan kedutan yang berirama. Naik, naik, naik dan terus naik. Berkedut naik, sampai melewati pusarnya. Sekarang yang ia lgwkan sungguh nekat. Sama sekali tak khawatir akan adanya orang yang melihat. Dia berdiri di halaman belakang rumahku, menghadap tepat ke arahku dengan penis yang tegak mengacung sambil menjilat dan mengecap cd kotorku dengan rgws. Merasa tak cukup hanya mengecap satu cd kotorku, dengan tangan kanannya yang masih bebas, diapun kembali mengambil cd kotorku. Kali ini yang berwarna hijau muda dengan gambar bunga bunga di bagian vagina. Sekarang di kedua tangannya, ia memegang cd kotorku.
Tapi kali ini ada yang berbeda. Cd hijau yang ada di tangan kanannya tak hanya ia cium dan jilat saja. Melainkan……ia pakai sebagai sarana masturbasinya. Ia lilitkan cd hijauku ke batang penisnya dan ia mulai menggerakkan tangan kanannya maju mundur. Makin lama makin cepat, main cepat dan makin cepat. Dia mengocokkan penis yang terbungkus cd hijauku dengan kecepatan tinggi. Dengan sangat bernafsu dan brutal. Melihat tingkah lgw mas Manto, detak jantungku pun semakin berdebar-debar tak karuan. Tubuhku menghangat, nafasku memberat, putingku mengeras dan yang paling tak gw sadari, kemaluanku mulai membasah. Secara reflek, gw sentuh cd yang gw pakai, dan gw raba belahan bibir kemaluanku. gw basah, gw horny, gw terhanyut akan tingkah lgw kurang wajar yang telah dipertontonkan oleh mas Manto. Bagian depan cdku terasa sangat hangat dan basah oleh cairan kewanitaanku. Astaga, gw benar-benar dibuatnya mabuk kepayang. Mas Manto, seseorang yang sama sekali belum gw kenal dengan dekat, berani berbuat hal yang begitu nekat. Begitu gila, yang sama sekali tak pernah gw bayangkan. Dengan tanpa rasa malu sama sekali ia masturbasi dengan menggunakan cd kotorku di halaman belakang rumahku. Badan kekar berotot, kulit hitam yang basah oleh air bekasnya mandi, ditambah sinar matahari yang menerangi halaman belakangku, membuat apa yang ia lgwkan terlihat begitu seksi. Entah kenapa, tiba-tiba gw merasakan perasan yang berbeda kepadanya. Perasan yang tak bisa gw lukiskan dengan kata-kata. Hanya ada rasa penasaran dan ingin tahu yang begitu menggebu. Mas Manto semakin mempercepat kocokannya. Badannya membungkuk dan membusur. Otot-otot tangan dan lehernya mengejang. Ia merem melek, pupil matanya tak terlihat, hanya putih. Ia terlihat begitu menikmati semua yang sedang ia lgwkan. Melihatnya begitu menikmati akan apa yang sedang ia perbuat, gw jadi ikut merasakan kenikmatan. Tiba-tiba, muncul perasaan aneh dari dalam diriku. Perasaan nakal, binal, liarku sepertinya muncul. Ingin rasanya gw membuka pintu dapurku dan mendekap tubuhnya, mencium bibirnya dan meraih penisnya. Ingin rasanya gw membantu menuntaskan semua hasrat nafsunya. Menjilat batang penis yang begitu besar, hitam, panjang. Ingin sekali gw merasakan tusukan dan sodokan penis dahsyatnya di liang vagingw. Dan… gw ingin mas Manto menumpahkan semua spermanya di dalam rahimku.
“Liani…..mbak Liani….terima persembahanku untukmu….. mbak Lianiku…..” bisiknya lirih sembari dia mempercepat kocokannya.
“Mbak Lianiku….?” Tanygw dalam hati. Heran.
“Ooooooohhhhh…..mbak Liani!!!”
Mas Manto tiba-tiba menghentikan kocokan tangan kanannya dan dengan cd di tangan kiri, ia berusaha menampung semua tumpahan cairan kenikmatannya.
“Crut… crut… crut… crut…”
Mas Manto orgasme. 8 tembakan sperma menabrak cd putih di tangan kirinya. Semburan benih-benih kejantanan seorang lelaki menyemprot keluar dari mulut penisnya yang lebar. Begitu banyak. Sampai-sampai cd putihku yang ia gunakan untuk menampung tumpahan cairan nafsu mas Manto, tak mampu membendung itu semua. Cairan itu merembes keluar dari cd hijauku yang ia gunakan untuk melilit penisnya, dan menetes jatuh ke atas cucian kotorku. Sungguh menakjubkan melihat ekspresi wajahnya. Semua terjadi seperti dalam gerakan slow motion. Andai gw punya handycam, pasti gw kan merekam semua kejadian barusan. Penisnya berkedut dengan hebatnya. Berkedut sambil memuntahkan semua cairan spermanya.
“tiiiiiiiiitt…….. tiiiiiiiiitt…….. tiiiiiiiiitt…….. tiiiiiiiiitt……..” kami berdua dikejutkan oleh suara SMS dari HP milikku. Suara yang walau lirih, tapi terdengar begitu lantangnya. Memecah kesunyian yang terjadi selama beberapa menit ini. Mas Manto terlihat begitu panik, dia bingung, celingukan, mengkira-kira, kapan gw bakal menampakkan diriku dari dalam rumah. Dia juga bingung dengan benda yang sekarang masih ada di kedua telapak tangannya. Cd putih yang ia gunakan tuk menampung tumpahan sperma dan cd hijau yang ia gunakan tuk membungkus batang penisnya, semua basah karena sperma. Dibuang sayang, di letakkan di bak cucian pun khawatir gw akan curiga. Karena kehabisan akal, mas Manto akhirnya melepas handuk kecil yang melilit pinggang dan meletakkannya di pundak. Astaga, sekarang gw dapat melihat keseluruhan tubuh telanjang beserta penis raksasa mas Manto yang masih menggelatung lemas setelah dikocoknya habis-habisan. Penis itu telihat seperti buah terong, panjang, besar, berwarna hitam kemerahan dengan ujung kepala yang menggelembung. Dan anehnya lagi, penis itupun masih berkedut dan mengeluarkan sperma.
“Ga ada habisnya tuh peju” pikirku kagum.
Dengan cepat, mas Manto langsung mengenakan cd putihku yang penuh dengan spermanya. Cd tersebut dipaksa untuk dapat masuk, karena mas Manto tak dapat menemukan lokasi tuk menyembunyikan cd tersebut. Janggal sekali gw melihatnya mengenakan cd wanita. Ujung kepala penisnya tak dapat sepenuhnya tertampung. Masih menjulang keatas, melawati karet kolor cdku. Sampai-sampai ia harus bersusah payah tuk menekuk batang penisnya ke bawah, kearah pantat, supaya tak terlihat lagi. Biji testisnya pun terlihat tak nyaman, menggelambir keluar dari masing-masing celah celana dalamku. Dan cd hijau, yang juga terciprat spermanya, ia sembunyikan di dalam tumpukan baju kotorku. Setelah itu, ia segera melilitkan kembali handuk kecilnya, dan bertingkah seperti tak ada apa-apa..
“Mbak Liani…” panggilnya. “Mbak…Ini bak cucinya…”
“Eeh iya… sebentar mas….” Jawabku. gw mencoba mengatur nafas, menyembunyikan deru nafsuku yang juga masih menggebu-gebu ini..
“Maaf mas… tadi mas Randri telpon, jadi mas Manto langsung saya tinggal deh…”
“Oh gapapa mbak…ini baju kotornya sudah saya pindahkan ke bak cuci saya… jadi mbak Liani tinggal meneruskan saja…” mas Manto berkata sambil mengurut-urut telapak tangannya di depan selangkangan, mencoba menutupi gundukan penis yang gw kira mulai menggeliat lagi.
“I….iya…ma kasih mas… jadi ngerepotin nie ceritanya….” Katgw.
“Ah.. gapapa kali mbak…. Lagian gw kasian kalau melihat cewek secantik mbak Liani harus bercapek-capek sendirian gini….” Katanya tersenyum meringis.
“Wah… sepertinya dia mulai merayuku” batinku. gw hanya bisa tersenyum-senyum mendengar kalimat mas Manto.
“Hhmmm… anu mas… kalau boleh… apa saya bisa….….”
“Boleh boleh…mo apa ya?” potongnya.
“Anu… apa bisa saya minta tolong buat …..sekalian penuhin bak cuci dengan…..?”
“Wah bisa banget mbak.. tenang aja… “potongnya lagi. “bahkan kalau mau… saya bisa bantu mbak liani nyuci”in bajunya…”
Dengan sigap, mas Manto memindahkan air dari bak penampungan ke bak cucinya. Dia terlihat sama sekali tak merasa terbebani dengan segala perintahku. Dan tak lama, semua bak cucinya penuh dengan air bersih.
“Yup….semua bak cuci sudah saya penuhi ….apa ada hal lain yang bisa saya kerjakan??”. Matanya berbinar-binar penuh harap. Terlihat seperti anjing yang haus akan perintah dari majikannya.
“Hmmmm… sepertinya itu saja deh mas….” Katgw sambil tersenyum.
“Mbak Liani tuh orangnya murah senyum ya? Jadi seneng saya mbantuinnya… jadi ga ada capek-capeknya dah…” candanya.
Langsung saja gw duduk di bangku kecil yang ada disisi bak cuciku, mulai mengucek dan membilas semua baju kotorku. Tapi begitu gw duduk di bangku kecil itu, gw baru sadar. gw tak mengenakan cd dan bra sama sekali, dan di depanku, ada mas Manto, suami tetangggw. gw merasakan hal yang sangat kurang nyaman. Bangku itu terasa begitu pendek, hanya 15 cm dari lantai. Jadi, mau tidak mau, gw harus duduk dalam posisi jongkok. Paha, betis, lengan dan belahan dadgw terpampang jelas di depan mata mas Manto. Dan yang paling parah, daster kecilku ini sama sekali tak mampu untuk menutupi selangkanganku. Walau vagingw bersih dan gw bisa dengan santai berbugil ria di hadapan mas Randri, tapi tetap saja, mas Manto adalah orang lain, orang yang baru gw kenal sekitar 30 menit yang lalu. Pasrah…hanya itu yang dapat kulgwkan. gw hanya jongkok, merapatkan kedua lututku, dan menempelkan dada montokku kearah paha. Berusaha sebisa mungkin tak memperlihatkan vagina dan belahan dadgw sama sekali.
Melihat gw yang kebingungan mencari posisi paling aman tuk menyembunyikan auratku, Mas Manto pun ikut sedikit menjauh. Dia mengambil posisi di seberang halaman, dan duduk di bangku kayu panjang, yang berjarak sekitar 2m dari tempatku duduk mencuci. Bangku itu hanya setinggi lutut orang dewasa, yang jika mas Manto duduk menghadapku, lutut dan pantatnya berada dalam posisi yang sejajar. Sehingga membuatku dapat dengan leluasa menerawang kedalam handuk kecilnya dan melihat perjuangan cd putih kecilku menyembunyikan penis besar mas Manto.
“Jadi sama-sama tau aurat masing-masing lah…” pikirku gampang.
Mas Manto ternyata orang yang mudah bergaul, ramah, dan suka memuji. Tak heran, gw yang biasanya tertutup akan adanya orang baru, merasa begitu nyaman dan bisa ngobrol lama dengannya. Apalagi dia bukan orang yang mata keranjang. Karena walau gw berbaju begitu minim, mas Manto mampu menahan keinginannya tuk menatap tubuhku lama-lama, hanya sekilas saja ia melihat, lalu melengos ke arah lain, seolah-olah tak peduli sama sekali. Situasi tegang diantara kamipun lama-lama mencair, karena mas Manto tahu sekali bagaimana berbicara denganku. Sering becanda dan pintar merayu orang. Diapun tak segan tuk tertawa terbahak-bahak ketika gw bercerita lucu. Bahkan tak jarang selangkangannya dapat gw lihat dengan jelas ketika dia tertawa. Ketika tertawa, kadang ia mengangkat kaki dan memegang perut sehingga penis yang terbungkus cd putihku sering terpampang dengan jelas. Sama sekali tak berusaha tuk menutupinya.
“Penis hitam mas Manto berusaha menampakkan dirinya… penis itu bersembunyi di dalam cd putihku… yesss…. gw bisa melihat penisnya lagi…. penis besarnya…” hanya itu pikirku ketika melihatnya tertawa puas.
Kadang gw berpikir, apakah mas Manto adalah seorang ekhibisionis. Seorang yang memiliki penyakit psikologis, suka memamerkan penisnya kepada orang lain.
1 komentar:
Lucky Club Casino Site Review for 2021 - Lucky Club
Lucky Club Casino Site Review for 2021. Lucky Club Casino is licensed luckyclub and regulated by the Malta Gaming Authority (MGA). Read the complete review here!
Posting Komentar